Senin, 16 November 2009

TRADE AND INVESTMENT liberalization effects on sme development: a Literature review and a case study of INDONESIA

1. Effects of International Trade Reform on SMEs
It is generally believed that trade liberalization should beneficial for domestic economy as well
as the world as a whole. At an aggregate level, the channels through which trade reform could bring
benefits are broadly the followings: improved resource allocation; access to better technologies, inputs
and intermediate goods; economies of scale and scope; greater domestic competition; availability of
favorable growth externalities like transfer of know-how and many others.2
Until quite recently, more attention has been given to macroeconomic effects of international
trade reforms.3There is now a small but growing empirical literature on the effects of international
trade liberalization at a disaggregate level. Theoretically, reform towards international trade

2. Effects of Investment Liberalization on SMEs
As with trade liberalization, investment liberalization should also take into consideration what
impact (positive and negative) would have on the SMEs. Theoretically, investment liberalization affects
SMEs in a number of ways. On the positive side, a better investment environment generates many new
firms or/and encourage existing firms (including SMEs) to expand their production capacities. The
expansion of local SMEs can also take place with direct link to LEs, including MNCs/FDIs through
e.g. subcontracting production linkages (‘complementary effect’). In other words, MNC/FDIs act as a
growth source for local SMEs. Moreover, most often in the literature, MNCs/FDIs have been claimed
as positive factors for developing countries firms for breaking entry-barriers into export markets.
Several studies have appeared to examine the export-spillovers effect of FDI on domestic firms and
this often take place through subcontracting arrangements.13Although these studies do not categorize
domestic firms by size, it can be assumed that well developed SMEs (i.e. those with better
technologies, high skilled workers, and good management systems) can benefit from this spillovers
effect. On the negative side, however, reform towards FDI liberalization has the effect of increasing
new LEs at the cost of existing SMEs unable to compete (‘competition effect’). Thus, ‘complementary
effect’, rather than ‘competition effect’, can be considered to minimize the negative impact of
investment liberalization on SMEs.
Unfortunately, due to limited literature exclusively on the effect of investment policy reform
on SMEs in Indonesia, it is hard to say whether the long-term gradual process of investment
liberalization, started first by the introduction of Foreign Direct Investment Law in 1967 marking the
beginning of the openness to FDI, and followed by the ‘real’ liberalization with the introduction of
various incentives to attract FDI (including more sectors open for FDI) in the second half of the 1980s
and reached the climax after the crisis 1997/98 with the IMF Reform Agreement, has created
complementary net effects or competition net effects on local SMEs.14However, there are many case
studies on subcontracting in Indonesia which may give some insight, and the majority of these studies
conclude that such production linkages do not develop smoothly despite of investment liberalization
and this is attributed to many factors: local SMEs cannot meet the required standard of quality due to
their lack of technology and skills, market distortion, and the institutional coordination problem
indicated by, among others, the lack of consistency and coherence in policy, underdeveloped business
Effects of the Reforms on SMEs in Indonesia.1 Growth in Units and GDP Contributions
Clearly, the development of manufacturing industry and non-oil/gas exports in Indonesia has
been an important success of the era of deregulation of international trade and investment in the
country. However, there are always concerns regarding the survival of SMEs in the country. Questions
remain: (i) can local SMEs survive if imports are allowed to freely enter the domestic market; (ii) have
export opportunities been more open for local SMEs since the reforms; (iii) do local SME have
enough capacity to develop or increase their exports; and (iv) how best can SMEs enhance their ability
to supply foreign invested firms and thus participate more actively in regional or global production
networks as sub-contractors of MNEs?
With respect to the first question, the answer is positive. Figure 7 indicates that after a slightly
decline in 1998 as a consequence of the economic crisis, the number of SMEs kept growing since then.
As already discussed in the literature survey (see again Section II.1), van Dierman at al. (1998) tried to
assess the impact of more aggressive trade and investment policy reforms shortly after the economic
crisis in 1997/98 related to the IMF sponsored deregulations under the Letter of Intent (LOI) on SMEs
in the manufacturing industry in Indonesia. They conclude that the likely impact varies by subsector or
group of industry. SMEs in the pre-crisis most protected industries were expected to be adversely
27
affected than those in the less protected ones. This figure may suggest, however, that although many
SMEs may have been damaged, in overall, the reforms have not affected SMEs negatively

PENGERTIAN EMBARGO DAN SANKSI

Embargo (al-hishâr) menurut bahasa arab. Di dalam ash-Shihâh oleh al-Jawhari dinyatakan, hasharahu yahshuruhu artinya adalah dhayyaqa ‘alayh (menimpakan kesempitan terhadapnya). Dan al-hashîr adalah adh-dhayyiq al-bakhîl (yang sempit dan bakhil). Al-hashîr adalah al-milk karena ia terhijab.
Al-hashîr juga bermakna al-mahbas (penjara/tahanan). Allah Swt berfirman :
Dan Kami jadikan neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. (TQS. al-Isrâ’ [17] :
Dan al-hasharu artinya dhayyiqu ash-shadr (sempit dada). Dikatakan, hasharat shudûruhum yakni dhâqat (dada mereka sempit). Juga bermakna al-man’u (halangan). Allah Swt berfirman:
Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit)
(TQS. al-Baqarah [2]: 196)
Yaitu (jika) kalian terhalang dari menunaikan haji karena suatu halangan berupa sakit atau musuh atau yang lain. Arti alhishâr (embargo) ini menuntun kita untuk menjelaskan fakta embargo yang mungkin terjadi secara riil.
Penghalangan, penyempitan, dan penahanan harus menggunakan cara-cara yang digunakan oleh negara-negara kafir untuk bisa terjadi secara riil.

Di antara sarana dan cara yang digunakan dalam masalah embargo adalah:
1. Undang-Undang Internasional. Yaitu pembuatan ketetapan internasional yang mengikat negara-negara anggota PBB. Dengan itu negara-negara imperialis besar yang memusuhi Islam dan seluruh negara Arab maupun non Arab yang ada di dunia Islam menajdi terikat untuk menjalankan embargo internasional terhadap satu negara ini yang keluar dari keinginan mereka yaitu Daulah Islamiyah. Hal itu dilakukan dengan penetapan langkah-langkah praktis untuk memonitor embargo dan penetapan sanksi terhadap negara yang menyalahinya. Anggaran Dasar PBB telah menyatakan masalah ini pada pasal 4. Pada pasal tersebut dinyatakan:
“Dewan Keamanan memiliki hak menjatuhkan sanksi-sanksi udara dan darat menentang setiap negara yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional”.
Pasal 16 menyatakan: “Dewan Keamanan memiliki kekuasaan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat mengikat bagi negara-negara anggota PBB untuk menghentikan hubungan ekonomi, transportasi darat, udara, pos, telegram, dan radio secara total, baik keseluruhan atau sebagian, melawan negara yang mengancam perdamaian atau melakukan agresi” (Abdul Wahab al-Kayali, al-mawsû’ah as-siyâsiyah, iv/135). Contoh sanksi yang dijatuhkan melalui lembaga internasional adalah sanksi terhadap Italia pada tahun 1935 melalui ketetapan LBB, dan sanksi terhadap Rodesia pada tahun 1968 melalui ketetapan Dewan Keamanan. Demikian juga sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat melalui PBB terhadap Libiya pada tahun 1992 disebabkan tuduhan terhadap warga Libiya atas peledakan pesawat Pan Am di atas Lockerby di Scotlandia pada tahun 1988. Juga sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Eropa terhadap Libiya pada tahun 1986 atas dasar tuduhan bahwa Libiya mendukung kelompok-kelompok teroris. Juga sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat melalui PBB terhadap Irak dalam satu embargo yang terkenal pada tahun 1990-1991, yaitu setelah usai perang teluk pertama.
Pada kondisi ketika dijalankan aktivitas internasional itu untuk menentang Daulah Islamiyah, maka negara-negara tetangga Daulah Islamiyah atau negara-negara yang jauh, dilarang melakukan transaksi atau hubungan perdagangan, pertukaran, bantuan, dan dukungan tertentu maupun tidak tertentu. Semua negara tersebut dilarang memberikan semua itu kepada Daulah Islamiyah, baik secara terang-terangan maupun rahasia.
2. Melalui negara-negara kaki tangan penjajah, khususnya negara-negara tetangga dan yang ada di sekeliling Daulah Islamiyah. Tindakan ini akan diambil dengan cepat tanpa harus merujuk kepada ketetapan PBB. Akan tetapi cukup dengan isyarat dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan lainnya. Jenis ini merupakan jenis embargo yang paling berbahaya dan paling banyak mendatangkan dharar terhadap Daulah Islamiyah.
3. Melalui jalan memaksakan tindakan penggunaan kekuatan militer. Hal itu seperti yang dilakukan oleh beberapa negara pada perang dunia ke-2, seperti Jerman melawan Rusia dalam embargo Leningrad pada perang dunia ke-2. Embargo itu berlangsung selama 872 hari. Dan selama embargi itu sebanyak sejuta orang mati. Atau apa yang dilakukan oleh Napoleon dalam embargo yang terkenal terhadap kota ‘Aka pada tahun 1799-1800 M. Embargo tersebut berlangsung selama enam bulan berturut-turut. Atau seperti yang dilakukan oleh negara-negara
Nashrani dalam perang salib pertama pada saat negara-negara itu menjatuhan embargo terhadap kota al-Quds pada tahun 1599 M. Embargo tersebut berlangsung sekitar empat puluh hari dan berakhir dengan jatuhnya al-Quds ke tangan pasukan salib pada bulan Sya’ban tahun itu. Juga pernah terjadi embargo yang sangat terkenal dalam sejarah Islam terhadap Daulah Islamiyah dan ibu kotanya yaitu Baghdad oleh Mongol pada tahun 656 H. Embargo tersebut terjadi pada bulan Muharram dan berlanjut hingga bulan Shafar, yaitu sekitar sebulan sampai jatuhnya Baghdad dan Daulah Abbasiyah mengalami keruntuhan pada tahun 656 H.
Ini dari sisi embargo sebagai makna dan fakta. Juga dari sisi cara-cara dan sarana-sarana yang digunakan untuk menjalankan dan mengimplementasikan embargo itu secara riil.
Adapun dari sisi justifikasi dan alasan untuk menjatuhkan embargo terhadap Daulah Islamiyah, maka embargo itu harus ada pendahuluan untuk meyakinkan masyarakat internasional dan bangsa-bangsa di negara-negara masyarakat internasional terhadap tindakan baru itu. Dalam sejarah kaum Muslim telah terjadi berbagai ragam embargo oleh negara-negara kafir. Untuk menjalankan itu negara-negara kafir tersebut menggunakan justifikasi dan argumentasi yang meragukan dan bohong. Sebagai contoh, embargo atas Rasulullah saw dan para sahabat beliau di Makkah al-Mukarramah. Dimana alasan embargo itu adalah untuk menjaga posisi sebagai pemimpin dan pelopor yang dicapai oleh Quraisy di antara kabilah-kabilah arab. Juga untuk menjaga warisan nenek moyang (berhala) dan menjaga kepemimpinan dan kepeloporan di dalam negeri.
Demikian juga embargo yang dipaksakan oleh kaum kafir kabilah-kabilah arab di sekitar Madinah al-Munawarah pada perang Ahzab dengan alasan mengancam jalur perdagangan dan menyaingi Quraisy pada posisinya sebagai pemimpin. Juga terdapat embargo yang dipaksakan oleh negara-negara kafir dipimpin oleh Eropa Nashrani di bawah Lembaga Bangsa-Bangsa (LBB) terhadap Daulah Islamiyah Utsmaniyah. Embargo tersebut dijalankan dengan alasan permusuhan Daulah Islamiyah terhadap negara-negara Eropa dan tidak adanya penerimaan terhadap Konvensi Internasional oleh Daulah Islamiyah. Embargo tersebut berlangsung terus hingga runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada tahun 1924 M.
Pada hakikatnya, justifikasi bagi negara-negara imperialis untuk menjatuhkan embargo terhadap Khilafah Islamiyah yang telah dijanjikan itu sudah mulai dilakukan secara riil pada hari ini sebelum berdiri Daulah Islamiyah. Di antara justifikasi dan alasan itu adalah apa yang sedang dilakukan oleh negara-negara imperialis besar berupa “perang melawan terorisme” atau war on terror, dan dilekatkannya kata teroris dengan sebutan apapun yang dimiliki Islam yang mengandung makna kemerdekaan, kekuatan atau upaya memisahkan diri dari pengekoran terhadap Barat. Juga termasuk di antaranya adalah politik penyesatan dan pers melalui tangan-tangan mereka yang disebut ulama (ulama penguasa) dalam membuat-buat kebohongan hukum-hukum dusta terkait dengan Islam, seperi toleransi keagamaan, penghormatan pihak lain, moderatisme, penghapusan ide Kufur, penghapusan ide jihad dan membelokkannya dari perang ofensif untuk menghancurkan berbagai penghalang fisik di hadapan Islam kepada makna perang defensif saja. Pada saat yang sama dilekatkan tuduhan terhadap orang-orang yang ikhlas (mukhlisin) dari para pengemban dakwah yang berjuang untuk mengembalikan Islam dengan tuduhan kaku dan menyimpang dari kebenaran.
Negara-negara imperialis pada hari ini berupaya secara cepat untuk mengeluarkan Undang-Undang Internasional mendefinisikan terorisme. Untuk itu didahului dengan pendahuluan sesat dan jahat melalui jalan para ulama penguasa.
Undang-undang itu akan menentang ide jihad, ide Islam politik, dan ide pemisahan antara kafir dan Islam. Dengan pengertian lain, negara-negara kafir akan berupaya menjadikan undang-undang “melawan terorisme” untuk menentang sesuatu apapun yang di dalamnya terdapat pengertian Islam politik yang sahih. Yaitu menentang sesuatu yang melakukan langkah-langkah yang berlawanan dengan politik mereka, termasuk Daulah Islamiyah.
Yaitu Daulah Islamiyah yang ikhlas akan diklasifikasikan berada dibawah cakupan undang-undang “melawan teror internasional”. Ini dari sisi internasional. Sedangkan dari sisi rakyat dan masyarakat umum, negara-negara kafir akan menggunakan politik penyesatan secara masif menentang Islam sebagai agama dan menentang kaum Muslim sebagai pengemban agama tersebut. Kita telah membicarakan masalah ini sebelumnya.
Berdasarkan berbagai kebohongan dan penyesatan internasional dan nasional di negeri-negeri Barat dan di negeri-negeri kaum Muslim yang bertetangga dengan Daulah Islamiyah, negara-negara kafir akan memaksakan politik pembatasan, pelarangan, pemutusan bantuan, hibah, dan dukungan dari negara-negara tetangga Daulah Islamiyah. Negara-negara kafir juga akan memobilisasi pasukan dan skuadron, baik dari negaranegara besar itu sendiri, atau pun dari negara-negara tetangga Daulah Islamiyah. Demikian juga negara-negara kafir akan memaksakan keadaan pengasingan internasional: secara politik, intelektual, ekonomi, dan keuangan terhadap Daulah Islamiyah.
Benar, Amerika dan negara-negara Eropa minimal akan merujuk kepada pemaksaan embargo secara ekonomi, politik, dan intelektual terhadap Daulah Islamiyah ini, seandainya tidak disertai dengan embargo militer bersamaan dengan embargo tersebut.
Sedangkan tujuan dari politik yang zalim, keji, dan memusuhi tersebut adalah untuk mencekik leher masyarakat di dalam Daulah Islamiyah. Hal itu untuk memalingkan mereka dari Daulah Islamiyah tersebut dan agar menuntut penguasanya untuk mengubah pandangan dan ekspektasi mereka kepada negara-negara kafir. Yaitu agar melepaskan diri dari ide Daulah Islamiyah dalam maknanya yang sahih dan yang diridhai oleh Tuhan yang Mahamulia.
Sesungguhnya Khilafah Islamiyah yang telah dijanjikan itu niscaya akan menghadapi jenis permusuhan, perang, dan aksi yang memalingkan manusia dari jalan Allah tersebut. Semua itu guna membuat Khilafah Islamiyah mengurungkan niat untuk mewujudkan tujuannya. Juga untuk mencegah manusia dari memberikan perlindungan, berdiri di samping Khilafah Islamiyah dan mengorbankan sesuatu yang sangat berharga untuk menguatkan dan mengokohkannya.
Yaitu bahwa negara-negara kafir yang jahat dan arogan akan menghalangi setiap bentuk dan jenis pertukaran perdagangan dengan Daulah Islamiyah, baik berkaitan dengan komoditas makanan, energi, persenjataan atau komoditas dan jasa lainnya. Negara-negara kafir itu akan memobilisasi pasukan –seperti yang telah kami sebutkan– untuk menjaga embargo tersebut baik secara langsung di bawah cover lembaga PBB atau pun melalui kaki tangan mereka di negara-negara yang berbatasan dan bertetangga dengan Daulah Islamiyah. Ataupun melalui kekuatan militer suatu negara atau sekelompok negara dari negara-negara kafir.
Embargo artinya adalah kekurangan dalam semua bahan makanan dan selain makanan. Jadi artinya adalah penurunan kemampuan negara di dalam batas-batas wilayahnya. Daulah Islamiyah dan para punggawanya harus menyiapkan rencanarencana untuk menghadapi embargo itu sehingga masyarakat tidak akan terjatuh ke dalam haru biru media, propaganda yang tidak fair dan propaganda orang-orang munafik yang ada di dalam wilayah Daulah Islamiyah seperti yang terjadi dari orang-orang munafik pada masa Rasulullah saw dalam perang Khandaq.
Lalu apa langkah-langkah praktis yang wajib diambil di dalam dan di luar batas-batas Daulah untuk, pertama menghadapi semua itu dan kedua untuk memutus embargo serta untuk membuyarkan kesepakatan internasional yang melakukannya?
Berkaitan dengan masalah pertama –yaitu menghadapi embargo– langkah-lankah praktis yang harus diambil adalah membuat perhitungan-perhitungan untuk setiap kemungkinan dalam keberlangsungan embargo dalam hitungan hari, bulan, atau tahun. Perhitungan itu harus difokuskan pada tiga perkara utama.
Pertama, perkara yang berkaitan dengan mobilisasi umum secara maknawi dalam menghadapi embargo.
Kedua, menyusun rencana yang bisa menutupi kekurangan (barang kebutuhan) akibat embargo. Hal itu bisa dilakukan dengan jalan saling
menanggung (solidaritas), berhemat dalam pembelanjaan dan dengan jalan memanfaatkan semua potensi yang ada di dalam negeri tanpa memandang siapa pemiliknya, kemudian diperhitungkan sebagai utang negara atau dicatat sebagai derma dan bantuan dari para pemiliknya. Setelah itu dilakukan program menyeluruh dalam mendistribusikannya sesuai kebutuhan yang ada.
Ketiga, memanfaatkan semua potensi dan kemampuan yang ada di dalam tanah atau di luar tanah baik berupa pertambangan, pertanian, industri dan lainnya. Hal itu sebagai upaya untuk menutupi kekosongan dan kekurangan yang terjadi akibat embargo.
Ini adalah langkah-langkah di dalam negeri yang mungkin digunakan Daulah untuk menghadapi embargo dan bertahan terhadapnya.
Adapun langkah-langkah luar negeri yang mungkin dilakukan oleh Daulah, maka hal itu juga harus difokuskan pada tiga perkara penting:
1. Menghanguskan embargo
2. Aktivitas membuka embargo dengan semua cara yang memungkinkan.
3. Memanfaatkan isu embargo untuk memobilisasi kaum Muslim menentang para penguasa kaki tangan imperialis di negara-negara yang bertetangga dengan Daulah, di samping memanfaatkannya untuk memerangi ide-ide dan ideologi kufur.

Label:

Senin, 09 November 2009

FDI di INDONESIA

Apakah FDI itu?

FDI (Foreign Direct Investment) atau investasi langsung luar negeri adalah salah satu ciri penting dari sistem ekonomi yang kian mengglobal. Ia bermula saat sebuah perusahaan dari satu negara menanamkan modalnya dalam jangka panjang ke sebuah perusahaan di negara lain. Dengan cara ini perusahaan yang ada di negara asal (biasa disebut 'home country') bisa mengendalikan perusahaan yang ada di negara tujuan investasi (biasa disebut 'host country') baik sebagian atau seluruhnya. Caranya dengan si penanam modal membeli perusahaan di luar negeri yang sudah ada atau menyediakan modal untuk membangun perusahaan baru di sana atau membeli sahamnya sekurangnya 10%.

Biasanya, FDI terkait dengan investasi aset-aset produktif, misalnya pembelian atau konstruksi sebuah pabrik, pembelian tanah, peralatan atau bangunan; atau konstruksi peralatan atau bangunan yang baru yang dilakukan oleh perusahaan asing. Penanaman kembali modal (reinvestment) dari pendapatan perusahaan dan penyediaan pinjaman jangka pendek dan panjang antara perusahaan induk dan perusahaan anak atau afiliasinya juga dikategorikan sebagai investasi langsung. Kini mulai muncul corak-corak baru dalam FDI seperti pemberian lisensi atas penggunaan teknologi tinggi.

Sebagian besar FDI ini merupakan kepemilikan penuh atau hampir penuh dari sebuah perusahaan. Termasuk juga perusahaan-perusahaan yang dimiliki bersama (joint ventures) dan aliansi strategis dengan perusahaan-perusahaan lokal. Joint ventures yang melibatkan tiga pihak atau lebih biasanya disebut sindikasi (atau 'syndicates') dan biasanya dibentuk untuk proyek tertentu seperti konstruksi skala luas atau proyek pekerjaan umum yang melibatkan dan membutuhkan berbagai jenis keahlian dan sumberdaya. Istilah FDI biasanya tidak mencakup investasi asing di bursa saham.


FDI di Indonesia

UU Penanaman Modal Asing (UU No. 1/1967) dikeluarkan untuk menarik investasi asing guna membangun ekonomi nasional. Di Indonesia adalah wewenang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk memberikan persetujuan dan ijin atas investasi langsung luar negeri. Dalam dekade terakhir ini pemodal asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia karena tidak stabilnya kondisi ekonomi dan politik. Kini muncul tanda-tanda bahwa situasi ini berubah: ada sekitar 70% kenaikan FDI di paruh pertama tahun 2005, bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi sebesar 5-6% sejak akhir 2004. Pada awal 2005, Inggris, Jepang, Cina, Hong Kong, Singapura, Australia, dan Malaysia adalah sumber-sumber FDI yang dianggap penting. Menurut data statistik UNCTAD, jumlah total arus masuk FDI di Indonesia adalah US$1.023 milyar pada tahun 2004 (data terakhir yang tersedia); sebelumnya US$0.145 milyar pada tahun 2002, $4.678 milyar pada tahun 1997 dan $6.194 milyar pada tahun 1996 [tahun puncak].

Perusahaan-perusahaan multinasional yang ingin menyedot sumber daya alam menguasai pasar (baik yang sudah ada dan menguntungkan maupun yang baru muncul) dan menekan biaya produksi dengan mempekerjakan buruh murah di negara berkembang, biasanya adalah para penanam modal asing ini. Contoh 'klasik' FDI semacam ini misalnya adalah perusahaan-perusahaan pertambangan Kanada yang membuka tambang di Indonesia atau perusahaan minyak sawit Malaysia yang mengambil alih perkebunan-perkebunan sawit di Indonesia. Cargill, Exxon, BP, Heidelberg Cement, Newmont, Rio Tinto dan Freeport McMoRan, dan INCO semuanya memiliki investasi langsung di Indonesia. Namun demikian, kebanyakan FDI di Indonesia ada di sektor manufaktur di Jawa, bukan sumber daya alam di daerah-daerah.

Salah satu aspek penting dari FDI adalah bahwa pemodal bisa mengontrolâ€"atau setidaknya punya pengaruh pentingâ€"manajemen dan produksi dari perusahaan di luar negeri. Hal ini berbeda dari portofolio atau investasi tak langsung, dimana pemodal asing membeli saham perusahaan lokal tetapi tidak mengendalikannya secara langsung. Biasanya juga FDI adalah komitmen jangka-panjang. Itu sebabnya ia dianggap lebih bernilai bagi sebuah negara dibandingkan investasi jenis lain yang bisa ditarik begitu saja ketika ada muncul tanda adanya persoalan.


FDI sebagai indikator ekonomi

FDI kini memainkan peran penting dalam proses internasionalisasi bisnis. Perubahan yang sangat besar telah terjadi baik dari segi ukuran, cakupan, dan metode FDI dalam dekade terakhir. Perubahan-perubahan ini terjadi karena perkembangan teknologi, pengurangan pembatasan bagi investasi asing dan akuisisi di banyak negara, serta deregulasi dan privatisasi di berbagai industri. Berkembangnya sistem teknologi informasi serta komunikasi global yang makin murah memungkinkan manajemen investasi asing dilakukan dengan jauh lebih mudah.

Pengaruh terbesar FDI ini ada di negara-negara berkembang, dimana aliran FDI telah meningkat pesat dari rata-rata di bawah $10 milyar pada tahun 1970an menjadi lebih dari $200 milyar pada tahun 1999. Jumlah FDI di 'Dunia Ketiga' kini mencapai hampir seperempat FDI global. Di antara negara-negara lainnya, Cina adalah negara tuan rumah terbesar bagi FDI. Perusahaan-perusahaan multinasional besar dan konglomerat-konglomerat masih menjadi bagian terbesar dari FDI (sumber: UNCTAD). Negara-negara ASEAN dengan penghasilan menengah seperti Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina kini tengah menghadapi tantangan utama untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik mereka sebagai tuan rumah bagi FDI dalam lingkungan ekonomi yang berubah dengan pesat.

Patut dicatat pula bahwa dana Bantuan Pembangunan Luar Negeri atau ODA (Overseas Development Assistance) dulunya adalah sumber utama dana pembangunan di banyak negara berkembang. Namun, pada tahun 2000 total ODA hanya tinggal setengah dari jumlahnya sebelum tahun 1990an. Pembiayaan swasta (privat), melalui FDI, telah menjadi sumber terbesar dari dana 'pembangunan'. Peningkatan luarbiasa FDI ini adalah akibat dari pertumbuhan pesat perusahaan-perusahaan transnasional dalam ekonomi global. Dari hanya sekitar 7.000 perusahaan multinasional di tahun 1960, angka itu melejit melampaui 63.000 dengan sekitar 690.000 afiliasi atau cabang menjelang akhir tahun 1990an. Lebih dari 75% dari perusahaan-perusahaan ini berasal dari negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara, sementara perusahaan-perusahaan subsider(cabang)nya beroperasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Inilah gambaran sektor privat yang diperkirakan menguasai lebih dari duapertiga perdagangan internasional.

Pemerintah sangat memberi perhatiaan pada FDI karena aliran investasi masuk dan keluar dari negara mereka bisa mempunyai akibat yang signifikan. Para ekonom menganggap FDI sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi karena memberi kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi nasional seperti Produk Domestik Bruto (PDB/GDP), Gross Fixed Capital Formation (GFCF, total investasi dalam ekonomi negara tuan rumah) dan saldo pembayaran. Mereka juga berpendapat bahwa FDI mendorong pembangunan karena-bagi negara tuan rumah atau perusahaan lokal yang menerima investasi itu-FDI menjadi sumber tumbuhnya teknologi, proses, produk sistem organisasi, dan ketrampilan manajemen yang baru. Lebih lanjut, FDI juga membuka pasar dan jalur pemasaran yang baru bagi perusahaan, fasilitas produksi yang lebih murah dan akses pada teknologi, produk, ketrampilan, dan pendanaan yang baru.


FDI dan advokasi

Mereka yang menentang mencatat bahwa FDI memberi makna lain pada ungkapan "Berpikir global, bertindak lokal" ('Think globally, act locally'). Mereka berpendapat bahwa FDI lebih menguntungkan negara asal (negara dari mana investasi itu ditanamkan) daripada negara tuan rumah (negara tujuan dimana investasi itu ditanamkan). Konglomerat-konglomerat multinasional dapat menggunakan kekuasaan mereka yang besar terhadap ekonomi-ekonomi yang lebih kecil dan lebih lemah. Mereka bisa menghabisi kompetisi lokal. FDI bisa membuat sebuah pabrik meningkatkan kapasitas produksi totalnya (seringkali juga dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada di negara asalnya); membawa produknya lebih dekat ke pasar-pasar luar negeri; membuka kantor-kantor penjualan lokal di negara tuan rumah; berkelit dari berbagai 'hambatan dagang' (trade barriers) dan menghindari tekanan pemerintah luar negeri pada produksi lokal.

Lobi melawan FDI bisa dilakukan para pengkampanye dengan membuat perusahaan-perusahaan tersebut tahu risiko finansial atas investasi mereka dalam produksi yang tidak berkelanjutan secara sosial maupun lingkungan. Sejarah konflik atau catatan buruk pelanggaran hak asasi manusia di daerah tertentu negara tuan rumah dimana investasi asing hendak ditujukan membuat perusahaan lebih sulit mendapatkan jaminan atas risiko politik. Perusahaan multinasional seharusnya juga ditekan untuk mengadaptasi standar internasional tertinggi atas hak-hak masyarakat adat, dampak lingkungan, dan syarat-syarat kesehatan dan keselamatan kerja. Inisiatif-inisiatif PBB seperti Global Compact, Equator Principles, dan prinsip-prinsip tatakelola korporasi dari OECD bisa digunakan untuk membuat bank dan agen pembiayaan lain menghentikan pembiayaan investasi yang secara sosial atau lingkungan merusak. Banyak perusahaan lain kini mempunyai panduan tanggung jawab sosial korporasi-nya masing-masing. Aksi langsung di dalam dan di seputar berlangsungnya RUT (Rapat Umum Tahunan) pemegang saham perusahaan-perusahaan internasional juga terbukti menjadi alat yang efektif untuk menghasilkan publisitas.

Salah satu kemungkinan mempengaruhi investasi asing adalah dengan mendorong investasi etis atau investasi yang bertanggungjawab secara sosial, yang biasa disebut SRI (Socially Responsible Investment). Walaupun belum menjadi arus utama, pasar SRI telah meningkat secara berarti. Di Inggris, SRI telah mencapai £7,1 milyar. Di AS, skema investasi etis telah mencapai US$153 milyar menjelang tahun 2000, sebuah peningkatan pesat dari US$12 milyar pada tahun 1995. Menurut laporan, sekitar 12% dari investasi total yang dikelola di AS adalah bagian dari skema SRI.


Liberalisasi dan FDI di Indonesia

UU Penanaman Modal pertama (UU No. 1/1967) yang dikeluarkan oleh Orde Baru dibawah pemerintahan Suharto sebenarnya mengatakan dengan jelas bahwa beberapa jenis bidang usaha sepenuhnya tertutup bagi perusahaan asing. Pelabuhan, pembangkitan dan transmisi listrik, telekomunikasi, pendidikan, penerbangan, air minum, KA, tenaga nuklir, dan media masa dikategorikan sebagai bidang usaha yang bernilai strategis bagi negara dan kehidupan sehari-hari rakyat banyak, yang seharusnya tidak boleh dipengaruhi pihak asing (Pasal 6 ayat 1).

Setahun kemudian, UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968) menyatakan: "Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam didalamnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional" (Pasal 3 ayat 1). Dengan kata lain, pemodal asing hanya boleh memiliki modal sebanyak-banyaknya 49% dalam sebuah perusahaan. Namun kemudian, pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan pemerintah yang menjamin investor asing bisa memiliki hingga 95% saham perusahaan yang bergerak dalam bidang "... pelabuhan; produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi; penerbangan, pelayaran, KA; air minum, pembangkit tenaga nuklir; dan media masa" (PP No. 20/1994 Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1).

Dibawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah Indonesia mengadakan International Infrastructure Summit pada tanggal 17 Januari 2005 dan BUMN summit pada tanggal 25-26 Januari 2005.
Infrastructure summit menghasilkan keputusan eksplisit bahwa seluruh proyek infrastruktur dibuka bagi investor asing untuk mendapatkan keuntungan, tanpa perkecualian. Pembatasan hanya akan tercipta dari kompetisi antarperusahaan. Pemerintah juga menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing yang beroperasi di Indonesia..
BUMN summit menyatakan jelas bahwa seluruh BUMN akan dijual pada sektor privat. Dengan kata lain, artinya tak akan ada lagi barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Di masa depan seluruh barang dan jasa bagi publik akan menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang penyediaannya murni karena motif untuk mendapatkan laba.

Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan proses liberalisasi yang saat ini sedang berlangsung di semua sektor di Indonesia dan menunjukkan pentingnya FDI bagi pemerintah Indonesia. Semangat ayat-ayat dalam UUD 1945 yang bermaksud melindungi barang dan jasa publik yang bersifat strategis telah sirna.

Label: